Sejarah Tradisi Islam Nusantara

1.    Pengertian seni budaya lokal

a.         Pengertian seni

Seni adalah bentuk imajinasi insan secara kreatif untuk menikmati kehidupan. Atau sanggup juga didefinisikan sebagai hasil ciptaan insan yang mengandung unsur indah, lembut, halus, serta memesona. Indah di lihat, indah dipandang, dan indah pula bila dihayati atau dirasakan.

Kesenian sanggup dibagi menjadi lima kategori, sbb:

1)      Seni rupa meliputi seni lukis, seni patung, seni dekorasi, dan seni pahat.

2)      Seni sastra meliputi novel, kisah pendek, puisi

3)      Seni bunyi meliputi music, seni calung, seni wayang

4)      Seni drama meliputi ketoprak, dan sandiwara

5)      Seni gerak meliputi seni tari, pencak silat, loncat indah, dsb

b.         Pengertian budaya lokal dan ciri-cirinya

Budaya lokal adalah budaya orisinil suatu kelompok masyarakat tertentu. Menurut J.W.  Ajawalia, budaya lokal adalah ciri khas budaya sebuah kelompok masyarakat lokal.

Misalnya: budaya masyarakat pedalaman sunda (Baduy), budaya nyangku dipanjalu Ciamis, budaya seren taun di Cicadas.

Cirri khas budaya tersebut meruparkan kebiasaan yang diwariskan secara turun-temurun, meskipun ditengah-tengah perkembangannya mengalami perubahan nilai. Perubahan dimaksud diakibatkan beberapa hal, contohnya percepatan migrasi dan penyebaran media komunikasi secara global sehingga tidak ada budaya local suatu kelompok masyarakat yang masih sedemikian orisinil atau karena masyarakat sudah tidak memperhatikan lagi budaya local tersebut.

Misalnya : rumah insan selalu mengalami perubahan (bentuk, gaya, dsb) tetapi tempat tinggal burung (sunda: sayang manuk ) atau binatang lainnya tetap tidak megalami perubahan.

Cirri budaya local sanggup dikenal dalam bentuk kelembagaan social merupakan ikatan social bersama di antara anggota-anggota masyarakat.

2.    Seni budaya pra-Islam

Produk seni budaya pra-Islam sanggup dibedakan dalam kategori kurun waktu, yakni: seni budaya yang berasal dari masa prasejarah, masa kontak dengan tradisi besar hindu, dan seni budaya etnik lokal yang masih ada sekarang, yang di asumsikan berakar jauh kemasa lampau.

Dari kkurun prasejarah, kehidupan seni budaya ditandai oleh pendirian monument-monumen seremonial, baik berukuran kecil, sedang, maupun besar, yakni berupa peninggalan yang dibentuk dari susunan batu.

Contoh : teras piramida, menyerupai terdapat di gunung padang (cianjur, sukabumi), cibalay dan kramat kasang (ciampea, bogor)

3.    Islam dan seni budaya lokal

Dalam penyebaran agama Islam di Indonesia, kedudukan seni dan budaya mempunyai kiprah yang cukup penting di dalamnya. Berkaitan dengan itu, maka tidak abnormal para ulama zaman dahulu begitu luas pengetahuannya. Ia tidak hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga menguasai ilmu seni dan budaya. Kehidupan didunia pesantren bukanlah hal baru. Dibacakannya Kasidah Barjanji yang berkisah perihal keagungan Nabi Muhammad Saw. Merupakan salah satu pola dari sekian karya sastra yang ditulis kalangan ulama pada zamannya.

4.    Integrasi Islam dalam budaya lokal

Islam di daerah kepulauan nusantara sesungguhnya telah berkembang dengan pesat karena proses akulturasi budaya lokal. Integrasi pemikiran islam selalu di sesuaikan dengan kekhasan budaya lokal. Dalam konteks ini, dakwah Islamiyah selalu melihat lingkungan sosial budaya dengan kacamata kearifan. Kemampuan pembiasaan ini merupakan kecerdasan sosial, intelektual, dan spiritual yang dimiliki oleh para ulama dahulu yang bertugas membuatkan agama Islam.

Beberapa pola penyebaran Islam di Nusantara dalam kaitannya dengan budaya lokal :

a.       Jejak Islam di Majapahit

Keberadaan Islam di Majapahit sanggup dilacak dari adanya makam Islam disejumlah tempat di situs Trowulon. Di antaranya puluhan nisan watu kuno di pemakaman Tralaya (Troloyo). Tralaya terletak di Dusun Sidodadi, Desa Sentonorejo, Trowulon, Mojokerto. Tralaya hanya 2 km arah selatan Desa Trowulon sentra petilasan kotaraja (ibu kota) Kerajaan Majapahit, atau sekitar 15 km arah barat daya ibu kota Kabupaten Mojokerto. Pada nisan-nisan ini terpahat goresan pena Arab, di antaranya berbunyi “Laailaaha ‘ilallah Muhammadar Rasulullah”.

b.      Islam dan pembentukan budaya banten

Budaya banten bisa di identifikasi dengan menelusuri produk-produk kesusastraan menyerupai naskah-naskah, babad, atau buku-buku keagamaan aneka macam kisah rakyat yang masih hidup dalam ingatan masyarakat, yang dituturkan oleh kelompok suku di Banten, dan warisan budaya material (cultural heritage) dalam pengertian yang luas. Yang termasuk dalam kategori terakhir ini ialah karya-karya arsitektur, tekhnologi, kesenian, dan sebagainya.

Miksic (1986) memperlihatkan fase-fase pertumbuhan perkembangan budaya Banten dalam panggung sejarah, yang sanggup digolongkan dalam beberapa fase berikut:

1)      Fase pra-sunda (1400-1525)

2)      Fase awal penyebaran Islam (1525-1619)

3)      Fase keseimbangan kekuatan

4)      Fase penguasaan VOC/ Belanda

5)      Fase surut dan jatuhnya Kesultanan Banten

6)      Fase Mutakhir.

c.       Peradaban Islam Sunda

Beberap unsur  peradaban yang diperkenalkan Islam kepada masyarakat sunda sanggup kita ketahui dari Babad Banten dan Babad Cirebon, khususnya menyangkut kasus pembangunan dan pengembangan kota dan system pemerintahan. Dua kota tersebut (banten dan Cirebon) pada masa pra-Islam masih merupakan dua desa nelayan yang sangat tidak berarti. Namun sehabis dibangun oleh kedua Raja Islam, Cirebon dan Banten, berubah menjadi kota Metropolitan. Sebuah orientasi gres yang dipelopori oleh Sultan Cirebon dan Banten ialah mengubah peranan kota pelabuhan yang tidak berarti menjadi kota sentra perdagangan yang besar.

d.      Islam dalam kehidupan masyarakat Jawa

Masyarakat tradisional memerlukan dan membuat aneka macam mitos. Mitos berfungsi baik sebagai upaya legitimasi terhadap keadaan berkesinambungan yang tidak berubah (status quo), dan mungkin pula sebagai apologi kegagalan mereka mencapai keadaan yang dicita-citakan.

Beberapa pola citra aneka macam Mitos Jawa pada masa lalu, yang beberapa diantaranya masih relevan pada masa sekarang.

1)      Banyak anak banyak rezeki

2)      Makan atau tidak yang penting kumpul

3)      Ratu Adil

4)      Kharisma Kiai

e.       Kebudayaan Islam Aceh

Pengamatan terhadap bukti-bukti Arkeologi di Aceh mengambarkan bukti besar lengan berkuasa bahwa budaya masyarakat wilayah tersebut tersebar luas di banyak wilayah Indonesia. Salah satu bukti penting dari hal tersebut ialah ditemukanya watu nisan aceh dibeberapa wilayah di Indonesia. Menarik diperhatikan, meski agak sedikit unik bahwa temuan watu nisan yang ada di luar Aceh disebut sebagai “batu Aceh” atau “nisan Aceh”, tidak di identifikasi berasal dari daerah mana watu nisan tersebut ditemukan. Hal ini disebabkan penyebaran watu nisan Aceh merupakan salah satu bentuk budaya, dimana kemajuan kebudayaan Aceh telah di serap kelompok masyarakat non-Aceh.

Beberapa bentuk Nisan Aceh :

Nisan merupakan salah satu belahan atribut pemakaman Islam. Dalam system pemakaman ini, aspek penting yang menjadi perhatian utama kajian arkeologis ialah bentuk dan arsitektur makam.

a)      Bentuk adonan sayap-bucrane

b)      Bentuk persegi panjang dengan hiasan kepala kerbau

c)      Bentuk bulat (Silindrik)

5)        Seni budaya lokal sebagai belahan dari tradisi Islam

Untuk seni administrasi pengembangan Islam di Indonesia, kita perlu mempunyai visi ke depan. Karena budaya menyentuh seluruh aspek dan cara pandang, perilaku hidup serta aktualisasinya dalam kehidupan manusia. Jika demikian, jelaslah perjalanan sejarah hubungan antara Islam sebagai agama dan budaya lokal yang melingkupinya serta adanya landasan hukum. Selain itu gerakan cultural lebih integrative dan massal sifatnya.sehubungan dengan hal ini kita patut mencontoh Sunan Kalijaga dalam membuatkan Islam di Tanah Jawa.

6)        Pandangan Islam terhadap budaya lokal

Islam ialah agama yang berkarakteristik universal, dengan pandangan hidup (weltanchaung) mengenai persamaan, keadilan, takaful, kebebasan, dan kehormatan serta mempunyai konsep yang humanistic (kemanusiaan) sebagai nilai inti (core value) dari seluruh anutan Islam. Bukti bahwa Islam mempunyai toleransi terhadap budaya lokal ialah terlihat ketika Budhha masuk ke Indonesia dengan membawa stupa. Islam tidak memindahkan simbol-simbol tersebut. Islam membawa bentuk kubah meski kini sudah ada penyesuaian bentuk.

Dalam hal penggunaan istilah-istilah yang di adopsi dari Islam, tentunya perlu membedakan mana yang “arabisasi” mana yang “islamisasi”.

         Begitu pula pengunaan kata salat sebagai ganti dari sembahyang (berasal dari kata ‘nyembah sang Hyang) ialah proses islamisasi bukannya arabisasi. Makna substansial dari salat meliputi dimensi individual-komunal dan dimensi peribumisasi nilai-nilai substansial ini ke alam nyata.

         Adalah naïf juga mengganti salam Islam “Assalamu’alaikum” dengan “ dengan “selamat pagi, siang, sore, maupun malam”. Sebab esensi do’a dan penghormatan yang terkandung dalam salam tidak terdapat dalam ucapan “selamat pagi” yang cenderung basa basi, selain salam itu sendiri memang di anjurkan oleh Allah swt. dan rasulnya.

Sejauh ini Islam di Indonesia dinilai lebih toleran terhadap budaya. Akibatnya, keislaman di Indonesia berbeda dengan yang berkembang di “pusat” pertumbuhan Islam. Kondisi ini memang menimbulkan banyak kesalahpahaman. Bagi sebagian pengamat, Indonesia di kategorikan sebagai “Islam yang jelek”. Kategori ini mendorong Nikki Keddie untuk meneliti sejauh mana perbedaan Islam yang berkembang di timur tengah dengan di Asia tenggara (Indonesia). Penelitian Keddie menemukan bahwa intinya Islam yang berkembang di Timur tengah tidak semuanya anti terhadap budaya lokal (budaya mistik). Di Kairo dan beberapa tempat lain didapatkan tanda-tanda yang serupa dengan di Asia tenggara (2000). Berarti islam yang bercampur dengan budaya local tidak khas si Indonesia, dan tidak memperlihatkan sebagai islam yang jelek. Dalam konteks tradisi Islam dalam kekhalifahan Fatimiah di Mesir (abad ke-3/4 M), mistisisme sebagaimana di Indonesia juga berkembang luas.

Respons Al Qur’an bermuara pada dua kemungkinan, yakni mengkritik atau mengonfirmasi budaya lokal tersebut. Kritik dilakukan sepanjang budaya tersebut menistakan kehormatan manusia. Konfirmasi dilakukan sepanjang budaya tersebut menistakan kehormatan manusia. Konfirmasi diberikan pada budaya yang sejalan dengan impian kemanusiaan.

Imam Syatibi merumuskannya secara sistematis dalam maqoshid al-syari’ah (tujuan syariat) di antaranya, menjaga dan memelihara kepentingan dan kemaslahatan insan dan syariat agama diberlakukan untuk dipahami dan dihayati manusia, jadi, hubungan agama dan budaya terjadi dalam bentuk kritik dan mendukung, tidak semua budaya ditolak karena berasal dari kreasi manusia.

7)        Melestarikan seni budaya lokal

Tak sanggup dipungkiri bahwa faktor kemajuan peradaban dunia sebagai bentuk kemajuan berfikir umat manusia, tak salah apabila disebut bahwa umat insan cukup umur ini telah dihadapkan pada situasi yang serba maju, dan pemikiran yang kritis. Kemajuan itu banyak menimbulkan perubahan disegala bidang kehidupan individu, keluarga, masyarakat, bernegara, maupun berbangsa.

Banyak di antara masyarakat itu mendapatkan perubahan peradaban sebagai sesuatu yang lumrah sebagai sebuah proses yang harus dijalani, dimaklumi, dan kehadirannya senantiasa menimbulkan aneka macam perubahan dalam praktiknya. Akibatnya, memaksa masyarakat budaya, mau tak mau atau sadar atau tidak sadar dihadapkan pada situasi yang sulit antara mendapatkan perubahan peradaban itu ( karena tidak ingin dianggap kolot) atau menolak perubahan itu kendati pun di anggap kuno.

Globalisasi, sudah menjadi takdir dan arus derasnya sulit untuk dibendung dengan alat apapun. Ke depan, sudah terbentang luas, dimanakah kita berada? Apakah kita termasuk kelompok yang habis-habisan memuja budaya barat, unsur mayoritas globalisasi? Atau kita menyatakan perang terbuka terhadap budaya barat..Akibanya kearifan lokal berada pada pilihan ketiga, tetapi sayang ini justru pilihan yang sepi, buktinya, berjuta-juta orang Indonesia berduyun-duyun menolak atau mendapatkan efek barat secara habis-habisan. Begitu pula pada saudara-saudara kita lainnya (suku-suku lain), menyerupai jawa, suku-suku di sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan lainnya.

Kita sebagai pelajar harus mengkaji ulang bertanya kepada diri kita sejauhmana kecintaan dalam melestarikan kebudayaan nasional kita supaya tidak mengalami pendangkalan makna terhadap kebudayaan nasional kita. Karena perkembangan zaman secara eksklusif menggeser budaya-budaya lokal. Berbagai peralatan digital, sangat mempengaruhi kepunahan budaya lokal. Dulu kalau ada orang menabuh lesung, semua warga eksklusif berbondong-bondong menuju sumber bunyi tersebut, dan mereka dengan sendirinya akan bergantian untk menabuh lesung, sementara warga yang tidak memukul lesung eksklusif bergabung dengan rekan-rekannya yang lain untuk mengerjakan sesuau yang bermanfaat.

Budaya lokal, menyimpan banyak pesan, yang sudah tentu gampang dicerna dan dipahami, dan pesan-pesan yang disampaikan itu juga, membuat para warga saling mengerti, memahami, dan taat kepada norma-norma, baik norma adat maupun norma agama.

B.  APRESIASI  TERHADAP TRADISI DAN UPACARA ADAT KESUKUAN NUSANTARA

1.        Pengertian Tradisi

Tradisi ialah adat kebiasaan turun temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan di masyarakat. Umumnya tradisi ini mempunyai kekhususan atau keunikan. Keunikan tersebut biasanya menjadi daya tarik tersendiri. Salah satu pola tradisi ialah tradisi Lisan. Tradisi lisan merupakan salah satu jenis warisan kebudayaan masyarakat setempat yang proses pewarisannya dilakukan secara lisan.

Macam-macam tradisi mulut :

a.    Ceria rakyat  (legenda kisah ken arok, si kabayan, sang kancil, sangkuriang dll)

b.    Bahasa rakyat  (logat, dialek, (sunda lentong)

c.    Sajak atau puisi rakyat ( sajak biasa, sinom, asmarandana, dll)

d.    Peribahasa rakyat (ungkapan tradisional) menyerupai ungkapan telur di ujung tanduk dan peribahasa lainnya.

e.    Nyanyian rakyat (folksong) contohnya : Cing Cangkeling (sunda), Rambate rata (Sulsel), dll.

2.        Agama, tradisi, dan budaya

Ada aneka macam pemahaman mengenai tahun datangnya Islam ke wilayah Nusnatara, tetapi yang terang ia tiba sehabis agama besar  yang lain menyerupai Hindu, Budhha datang. Akan tetapi, Islam bisa memperluas pengaruhnya di daerah ini dengan sangat luas dan mendalam dibanding dua agama sebelumnya. Selain karena Islam mengajarkan kesetaraan dan pembebasan, juga karena seni administrasi penyebarannya. Islam disebarkan melalui perangkat budaya dan bahkan warisan agama usang yang masih ada, yang kemudian di-Islamisasi.

a.    Pembentukan Islam Nusantara

Sebagaimana sering disinggung dalam buku sejarah bahwa Islam tiba ke Nusantara disiarkan oleh para saudagar dari Gujarat dan Kurdistan, bahkan dari Champa dan Cina, bukan eksklusif dari arab. Kenyataan ini sering di salah artikan, dianggap Islam yang tiba ke nusantara tidak murni bahkan dekaden, karena terkontaminasi oleh aneka macam tradisi yang dilalui.

Demikian pandangan menyesatkan dari para orientalis dan akademisi pada umumnya. Sebaliknya dalam pandangan kelompok Ahlus Sunnah, Islam yang tiba ke Nusantara melalui aneka macam Negara tersebut merupakan Islam yang sangat matang, Islam yang sangat sudah berpengalaman dalam menghadapi aneka macam budaya dan tradisi yang dilewati menyerupai tradisi Persia, India, Cina dll. Sehingga ketika masuk ke Nusantara mereka bisa menyusun seni administrasi dakwah yang pas. Karena itu, hampir tidak ada konflik dalam penyiaran agama, bahkan agama gres ini bisa diterima diberbagai sentra kekuasaan.

Dalam penyiaran agama yang pertama kali perlu dikenali terlebih dahulu ialah adat masyarakat setempat. Demikian berdasarkan Syekh Abdurauf  Sinkel (syah kuala) memberi pesan yang tersirat kepada para santrinya. Hakim Agung pada masa Sultan Iskandar Muda (1907) itu memang ulama yang andal dalam budaya.tradisi itu kemudian dikembangkan oleh para muridnya antara Syekh Burhanudin Ulakan dalam menyiarkan Islam di Minangkabau, dengan membiarkan tradisi berkembang walaupun tradisi mereka bertentangan dengan syariat. Dengan dalih bahwa yang menjadi sasaran hanya kelompok mudanya, dengan metode bermain. Dengan seni administrasi itu, Islam Ahlus Sunnah yang bermazdhab Syafi’i ini berkembang pesat diranah Pagaruyung itu. Berbeda dengan beberapa kawannya yang menolak pesan yang tersirat gurunya jadinya di usir warga dan gagal menyiarkan Islam.

Bahkan sebelum era ke-15, ketika Sunan Bonang dan Sunan Drajat pergi hendak berguru ke Mekkah, ia bertemu dengan ayahnya Maulana Maghribi di Pasai, Aceh, sehabis berguru disana dan ilmunya dianggap cukup disarankan pulang untuk berguru di Jawa saja. Karena justeru mengenal tradisi lebih penting menyiarkan Islam.

Demikian juga di Kalimantan, Syekh Arsyad Al Banjari menyiarkan Islam dengan penuh bijaksana, begitu pula dengan Syekh Abdus Shamad Al Palimbangi di Sumatera selatan

atau Syekh Khatib Sambas di Kalimantan Barat.

Strategi dan tradisi mereka relative sama karena antar Ulama Ahlus Sunnah itu mempunyai jaringan yang sama dan mereka bergotong-royong dalam mengembangkan ajarannya.

Para wali di Jawa juga berusaha memperkenalkan Islam melalui jalur tradisi, contoh wayang yang merupakan belahan dari ritual bisa di ubah menjadi sarana dakwah dan pengenalan anutan tauhid. Mereka merasa kondusif dengan hadirnya Islam, karena Islam hadir tanpa mengancam tradisi, budaya, dan posisi mereka.

Kita saksikan juga para wali dan ulama di Sulawesi dan di Maluku, mereka menulis aneka macam gubahan syair, tidak hanya mengenai ajara Islam, tetapi juga perihal tradisi. Berbagai naskah di tulis untuk mendekatkan masyarakat dengan anutan Islam. Bahkan ajran Islam diubahsuaikan dengan kondisi local, sehingga mereka merasa tidak asing. Setelah itu, diperkenalkan Islam yang sesungguhnya. Langkah strategis itu memperlihatkan keberhasilan yag luar biasa, sehingga para pemeluk agaa usang bersedia pindah ke Islam, karena Islam melindungi bahkan turut memajukan tradisi mereka.

Tradisi ini bukan tanpa pembenaran dari sentra Islam di Makkah. Dalam kenyataannya para ulama Nusantara banyak mencar ilmu dan bahkan mukim di Tanah suci. Mereka menjadi Imam dan syekh yang sangat terhormat di Haramaian, sehingga di datangi santri dari seluruh penjuru dunia. Dengan demikian, mereka tidak lupa mengemban kiprah menjaga kelestarian Islam Nusantara. Setelah para santri mencar ilmu dengan aneka macam ulama disana, mereka menyepuhkan (mematangkan) ilmunya dengan para ulama Nusantara, sehingga ketika kembali ke Nusantara tidak berbenturan dengan umat dan tradisi yang ada.

Para Alumni Mekah itu kemudian kembali membuat jaringan Islam Nusantara, mereka saling mengarang kitab dan saling mengajarkan di pesantren masing-masing. Misalnya kitab karangan Syekh Burhanuddin Ar-Raniri dikembangkan oleh Syekh Arsyad Al Bajari, kemudian kitab itu dicetak secara luas oleh Syekh Salim Al Fathani di Mekkah, dan di ajarkan pada muridnya di Patani, Brunei, Malaysia, dan Filipina.

b.    Pemangku Islam Nusantara

Tradisi keagamaan dan keilmuan Nusantara itu dikembangkan di pesantren yang ada di Nusantara. Melalui jaringan keulamaan dan kepesantrenan itulah tradisi Islam Nusantara dikembangkan. Langkah ini membuat seluruh masyarakat Nusantara menjadi pendukung tradisi Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang bermazdhab empat. Kalangan ini tidak ekslusif dan pasif. Terbukti ketika Portugis, Belanda, dan Inggris tiba menjajah daerah ini dengan system pendidikan Eropa dengan merongrong pendidikan lokal, maka kalangan Ulama pesantren dengan tegas mempertahankan system pendidikan mereka sendiri. Pesantren bersikap non-kooperatif, menolak segala bentuk kolaborasi dengan kolonial untuk melegitimasi penjajahannya. Dari pendidikan pesantren itulah jaringan keilmuan Nusantara berkembang semakin intensif, sehingga bisa mengatasi segala tekanan kolonial, bahkan akhirya bisa menjadi basis perlawanan terhadap penjajahan.

Untuk merespon aneka macam perkembangan yang ada di masyarakat, baik karena berkembangnya tingkat pemikiran masyarakat, adanya efek besar lengan berkuasa dan kebangkitan nasional, maupun menghadapi tantangan kolonialisme, kalangan pemangku Islam Nusantara yang lekat dengan tradisi ini berkembang secara luas di daerah Nusantara dan Indonesia khususnya, menghimpun diri dalam aneka macam organisasi.

§   Masyarakat Islam Sumatera Barat mendirikan Persatuan Tarbiyah, masyarakat Aceh,

§   Sumatera Utara mendirikan Al Washilah

§   Masyarakat Jawa mendirikan Nahdlatul Ulama,

§   Masyarakat Sulawesi mendirikan Darud Dakwah wal Irsyad

§   Masyarakat Nusa Tenggara mendirikan Nahdlatul Wathon

§   Masyarakat Sulawesi-Maluku mendirikan Al Akhirat, dan masih banyak lagi

Mereka itulah pendukung dan penyangga Islam Nusantara yang militan hingga ketika ini. Penghimpunan ini penting terutama oleh Wahabi yang menguasai Mekkah tahun 1924-1925 mengusir mukmin Nusantara yang ada di Mekah. Kelompok ini tercerai-berai sehingga mereka terpaksa sebagian kembali ke tanah air dan menghimpun dalam bentuk organisasi untuk mempertahankan paham keagamaan mereka.

Islam jenis ini tidak hanya membawa keamanan, tetapi turut memperlihatkan bantuan besar bagi tumbuhnya peradaban Nusantara. Berbagai seni Arsitektur, seni sastra (filsafat), budaya, dan aneka macam ekspresi kebudayaan yang lain. Ekspresi keislaman ini yang membedakan keislaman Nusantara ini yang membedakan keislaman Nusantara dengan Islam di timur tengah dan Islam Maghribi pada umumnya.

Beginilah kondisi Islam Nusantara sebagaimana dirintis dan dikembangkan oleh wali dan para ulama terdahulu, penting untuk dikukuhkan kembali supaya Islam kembali menjadi agama yang dekat dan erat dengan masyarakat Nusantara. Selain itu, system pendidikan pesantren yang merupakan system pendidikan khas Nusantara merupakan system pendidikan paling penting dalam proses ini. Dengan adanya pondok pesantren, maka Islam Nusantara tetap berkembang. Di pesantren itulah nilai-nilai kesusastraan diwariskan dan di ajarkan. Hingga ketika ini, hanya di pesantren syalaf yang tetap mengajarkan aneka macam kitab klasik (kitab kuning) dan melahirkan ulama-ulama besar. System ini tidak bisa digantikan oleh pendidikan modern menyerupai sekolah.

c.    Karakter Dasar Islam Nusantara

Islam nusantara disebut sebagai sesuatu yang unik karena mempunyai aksara khas yang membedakan Islam di daerah lain, karena perbedaan sejarah dan perbedaan latar belakang geografis dan latar belakang budaya yang dipijaknya. Selain itu, Islam yang tiba kesini juga mempunyai seni administrasi dan kesiapan tersendiri.

§   Pertama, Islam tiba dengan mempertimbangkan tradisi, tidak dilawan tetapi mencoba diapresiasi kemudian dijadikan sarana pengembangan Islam

§   Kedua, Islam tiba tidak mengusik agama atau kepercayaan apapun, sehingga bisa hidup berdampingan dengan mereka

§   Ketiga, Islam tiba menentukan tradisi dan diterima sebagai agama

§   Ke empat, Islam menjadi agama yang mentradisi, sehingga orang tidak bisa meninggalkan Islam dalam kehidupan mereka.

d.    Makna Keberadaan Islam Nusantara

Hadirnya Islam Nusantara ini mempunyai efek besar dan mendalam terhadap kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Ditandai antara lain,

§   Pertama, dengan kuatnya hubungan agama dengan tradisi dan bumi yang dipijak (tanah air) maka semenjak awal Islam ini gigih menolak kehadiran imperialisme atau penjajahan bangsa asing.

§   Kedua, semenjak awal Islam Nusantara turut aktif dalam membela kemerdekaan, mendirikan Negara termasuk ikut menyusun konstitusi yang bersifat nasional dan tetap berpijak pada agama dan tradisi, sehingga lahirlah Pancasila sebagai konsesus bersama menjelang bangsa ini merdeka.

§   Ketiga, dengan kecintaannya pada tradisi dan tanah air, Islam terbukti dalam sejarah tidak pernah memberontak terhadap pemerintah yang sah, karena pemberontakan ini di anggap penghianatan terhadap Negara yang telah di bangun bersama.

Salah satu kekuatan tradisi Sunni di Nusantara ialah kemampuannya membentuk Islam berkarakter moderat, toleran, dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal. Seperti ditunjukkan pada kemunculan kesultanan Islam pertama di Indonesia, Pasai yang berkultur syi’ah hingga kehadiran wali songo di Jawa.

Hal inilah yang di lakukan oleh Syekh Burhanuddin Ulakan yang memperkenalkan tradisi “tabut” (perayaan asyura) dan “basapa” (berjalan) di pesisir barat Sumatera era ke-17. Sementaran Syekh Jalaludin Al Aidid memperkenalkan tradisi “maudu lompoa” (Maulid Nabi yang agung) di daerah Makasar (kini di Cikoang, Takalar) pada era ke-17.

Sementara di Bengkulu, perayaan Asyura’ ini dinamakan “tabot” berasal dari kata arab (tabut) yang secara harfiah berarti “kotak kayu” atau “peti”. Perayaan ini di gelar tabot tebuang (tabot terbuang). Seluruh tabot berkumpul dilapangan di arak menuju padang jati, dan berakhir di kompleks pemakaman umum karabela. Tempat ini menjadi lokasi program ritual tabot terbuang karena disini dimakamkan Imam Senggolo (sebutan untuk Syekh Burhanuddin Ulakan), perintis tabot di Bengkulu. Kemudian bangunan tabot dibuang ke rawa-rawa yang berdampingan dengan makam, yang menandai berakhirnya segenap rangkaian upacara tabot. Syekh Burhanuddin wafat pada tahun 1680 dan dimakamkan di Ulakan, Pariaman. Ada pula yang menyebutnya di bengkulu. Peran dia dilanjutkan oleh putera angkatnya, Syekh Abdurrahman dan Syekh Jalaludin.